Ribuan Orang Teken Petisi Copot Gus Yahya dari MWA UI

Ribuan Orang Teken Petisi Copot Gus Yahya dari MWA UI

Gelombang protes kembali mengguncang Universitas Indonesia (UI) setelah ribuan orang angkaraja  menandatangani petisi yang menuntut pencopotan Yahya Cholil Staquf, atau yang akrab disapa Gus Yahya, dari jabatan Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI. Petisi tersebut muncul sebagai respons atas polemik undangan pembicara yang dianggap pro-Zionis dalam sebuah kegiatan kampus. Aksi ini bukan hanya menunjukkan kekecewaan sivitas akademika, tetapi juga menegaskan pentingnya sensitivitas moral dalam dunia pendidikan tinggi.


Latar Belakang Munculnya Petisi

Kontroversi bermula dari acara resmi di UI yang menghadirkan seorang akademikus internasional yang dinilai memiliki pandangan pro-Zionis. Kehadiran pembicara itu memantik reaksi keras dari sejumlah mahasiswa dan alumni yang menilai undangan tersebut tidak sejalan dengan komitmen kampus terhadap isu kemanusiaan, khususnya solidaritas kepada Palestina.

UI dikenal sebagai salah satu perguruan tinggi yang selama ini menempatkan nilai keadilan dan kemanusiaan sebagai landasan moral. Karena itu, undangan kepada pembicara yang dinilai tidak sensitif terhadap isu Palestina dianggap mencederai reputasi UI dan melukai perasaan banyak pihak.


Tuntutan dalam Petisi

Petisi yang digagas oleh sekelompok mahasiswa dan alumni ini menuntut agar Gus Yahya segera dicopot dari posisinya sebagai Ketua MWA UI. Beberapa alasan utama yang disampaikan dalam petisi tersebut antara lain:

  1. Kelalaian dalam proses seleksi narasumber: Mahasiswa menilai seharusnya ada pemeriksaan ketat terhadap latar belakang pembicara sebelum diundang dalam forum resmi kampus.

  2. Keresahan publik yang ditimbulkan: Kehadiran pembicara pro-Zionis menimbulkan keresahan luas di kalangan civitas akademika dan masyarakat, yang dinilai merusak citra UI sebagai kampus yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

  3. Kebutuhan penguatan komitmen UI terhadap Palestina: Petisi menekankan pentingnya komitmen nyata UI terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina, termasuk mendukung pembentukan pusat kajian Palestina sebagai langkah konkrit.


Jumlah Dukungan yang Terus Bertambah

Sejak diluncurkan pertengahan September 2025, petisi ini mendapat dukungan luas. Dalam hitungan hari, ribuan mahasiswa, dosen, alumni, dan masyarakat umum menandatangani petisi tersebut. Angka penandatangan terus bertambah, menandakan besarnya perhatian publik terhadap isu ini. Bagi banyak orang, petisi ini bukan hanya soal pencopotan seorang pejabat kampus, melainkan juga simbol perlawanan moral terhadap segala bentuk ketidakpekaan terhadap isu kemanusiaan.


Respons Gus Yahya dan Pihak Universitas Indonesia

Gus Yahya akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Ia mengakui kelalaian dalam memeriksa latar belakang narasumber dan menyesali kegaduhan yang terjadi. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa langkah-langkah perbaikan akan dilakukan, termasuk memperketat mekanisme pemilihan pembicara di acara resmi kampus.

Pihak Universitas Indonesia melalui jajaran humas menyatakan bahwa mereka menghargai setiap aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa dan alumni. UI menegaskan akan meninjau lebih dalam prosedur undangan narasumber agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.


Perdebatan Publik

Isu ini memicu perdebatan luas. Di satu sisi, banyak pihak menilai undangan pembicara pro-Zionis adalah kesalahan fatal yang tidak bisa ditoleransi. Mereka berpendapat bahwa kampus seharusnya menjadi garda depan dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan, sehingga sensitivitas terhadap isu Palestina wajib dijaga.

Di sisi lain, ada pula yang menekankan pentingnya kebebasan akademik. Menurut pandangan ini, kampus harus menjadi ruang dialog, termasuk dengan pemikiran yang kontroversial, selama dilaksanakan dengan transparan dan disertai konteks yang jelas. Namun, kelompok ini tetap menegaskan bahwa mekanisme pemilihan narasumber harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.


Dimensi Politik dan Keagamaan

Kontroversi ini menjadi semakin sensitif karena Gus Yahya bukan hanya Ketua MWA UI, tetapi juga Ketua Umum PBNU. Jabatan ganda ini membuat setiap langkahnya menjadi sorotan publik, baik dari sisi keagamaan maupun politik. Petisi ini akhirnya dipandang bukan hanya sebagai kritik terhadap tata kelola kampus, melainkan juga sebagai bentuk desakan moral yang menyentuh berbagai aspek kehidupan sosial.


Dampak yang Mungkin Terjadi

Kasus ini diprediksi akan membawa sejumlah konsekuensi penting:

  1. Perubahan mekanisme seleksi pembicara di UI: Tuntutan mahasiswa kemungkinan mendorong UI untuk memperketat proses verifikasi latar belakang setiap narasumber yang akan diundang.

  2. Penguatan partisipasi mahasiswa dan alumni: Petisi ini menunjukkan bahwa komunitas kampus memiliki peran penting dalam mengawasi kebijakan dan menjaga nilai moral universitas.

  3. Diskusi lebih luas tentang kebebasan akademik: Peristiwa ini menjadi momentum untuk meninjau batas antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab moral lembaga pendidikan.


Kesimpulan

Petisi pencopotan Gus Yahya dari Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia adalah cerminan meningkatnya kesadaran moral di kalangan mahasiswa dan alumni terhadap isu kemanusiaan global. Meskipun Gus Yahya telah meminta maaf dan berjanji memperbaiki mekanisme pengundangan narasumber, banyak pihak menilai langkah tersebut belum cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Kasus ini membuka babak baru diskusi tentang tanggung jawab moral kampus, kebebasan akademik, dan peran sivitas akademika dalam menjaga integritas institusi pendidikan. Bagaimanapun, reaksi besar dari ribuan penandatangan petisi menegaskan bahwa masyarakat menaruh harapan tinggi pada kampus sebagai pelopor nilai kemanusiaan dan keadilan.